Karya Alan Moore ini merupakan salah satu tonggak penting bagi industri komik. Ketika Watchmen dirilis untuk pertama kalinya pada tahun 1986, industri komik Amerika tersadar bahwa superhero tidak lagi terbatas untuk anak-anak saja. Apabila digarap dengan serius dan benar, maka komik mengenai superhero pun bisa dinikmati oleh semua kalangan. Bisa dibilang, Watchmen – selain The Dark Knight Returns garapan Frank Miller – adalah titik balik di mana komik kian mendewasakan dirinya.
Mengingat komik Watchmen telah mendapatkan pujian dari begitu banyak pihak, versi filmnya segera direncanakan. Sayangnya, karena keterbatasan teknologi di masa itu, ditambah dengan sengketa antara Alan Moore dan DC membuat rencana penggarapan filmnya terkatung-katung. Apa yang tadinya merupakan hype berubah menjadi kekhawatiran ketika karya lain Moore: League of Extraordinary Gentlemen-nya diadaptasi ke layar lebar dan melenceng total dari bahan aslinya. Alan Moore konon sampai murka besar melihat karyanya di’hancur’kan. Walau V for Vendetta dinilai lebih baik oleh para pengamat, Moore sudah tidak bersedia lagi bekerja sama dengan DC untuk Watchmen.
Tak mau turut campurnya Moore dalam proyek Watchmen membuat para penggemarnya cemas. Apa jadinya Watchmen nanti? Untungnya kecemasan tersebut mampu diredam ketika melihat publicity stills yang beredar di internet dan berita bahwa Dave Gibsons sebagai co-creator dan ilustrator serial ini ikut membantu penggarapan. Kostum para karakternya persis. Zack Synder yang sebelumnya sukses mengadaptasi 300 pun berjanji bahwa ia akan faithful terhadap komik Watchmen. Hype kembali terbangun, dan Watchmen sempat menjadi film dengan opening terbesar tahun ini (sebelum dipatahkan oleh Monsters vs Aliens, Fast and Furious, dan baru-baru ini Wolverine). Gegap gempita tersebut surut ketika di minggu-minggu berikutnya pendapatan Watchmen kelimpungan. Apa artinya? Apakah film Watchmen sukses mengadaptasi komiknya? Dan yang terpenting: bagaimana kualitas filmnya?
Ketika salah seorang mantan anggota Watchmen dengan kode nama ‘The Comedian’ mati terbunuh seorang misterius, para mantan anggota Watchmen lainnya pun bertanya-tanya: “Siapa gerangan pelakunya? Siapa yang cukup kuat untuk membunuh seorang superhero?”. Di antara para mantan anggota, Rorschach-lah yang paling bernafsu menemukan pembunuh itu. Anggota lain seperti Nite Owl dan Silk Spectre sudah enggan berurusan dengan kehidupan lama mereka. Ozymandias dan Doctor Manhattan malahan merasa bahwa masalah tersebut hanya kebetulan belaka; dan mereka terlibat dalam urusan yang lebih penting. Maklum saja, perang dingin antara Amerika dan Uni Soviet sudah memanas – dan berkemungkinan pecah menjadi Perang Dunia III. Apabila perang sungguh terjadi, nuklir demi nuklir yang diluncurkan sangat mungkin menghancurkan dunia. Apakah kasus pembunuhan The Comedian memiliki sangkut pautnya dengan perang Amerika dan Uni Soviet?
Ketika saya hendak menemani teman saya menonton Watchmen untuk kedua kalinya, ia bertanya kepada saya “Sebenarnya Watchmen ini film apa sih? Superhero?“. Saya bingung menjawab pertanyaannya. Menyatakan Watchmen sebagai film superhero kurang tepat, mengingat di dalamnya ada begitu banyak genre yang terwakili; mulai dari misteri, action, drama, gore, sampai superhero sendiri. Bahkan ringkasan plot yang saya tulis di atas pun tidak menerangkan lebih dari kulit luar film ini.
Tanpa menuangkan spoiler lebih banyak lagi, saya ingin mengatakan kalau Watchmen adalah salah satu film superhero paling ‘ajaib’ yang pernah saya tonton. Saya mengacungkan dua jempol untuk keberanian Synder memakai kostum asli para karakternya (ketimbang mengubahnya ala X-Men). Melihat karakter komik hidup ke layar lebar dengan kostum otentiknya sudah memberi nilai plus dulu. Selanjutnya sinematografi film ini antara berhasil dan tidak. Saya suka beberapa adegan film ini (SPOILER: duel The Comedian dengan sang pembunuh di awal film sangat keren, juga kemunculan Doctor Manhattan dalam menghabisi para Vietcong), sebaliknya beberapa adegan terasa terlalu mirip dengan 300 – kalian akan tahu adegan mana yang saya maksud begitu menonton film ini. Mungkin Synder masih ketagihan memakai style yang sama setelah sukses dengan 300? Keberanian lain Synder adalah waktu tayang film ini: hampir tiga jam (bahkan akan melebihi waktu itu untuk versi uncutnya) memberi Synder cukup waktu untuk mengeksplorasi tiap-tiap karakter di film ini. Edannya, Synder dengan berani memperkenalkan background tiap karakter tidak di awal film tetapi mengupasnya secara perlahan di awal, tengah, bahkan menjelang akhir film – sesuai dengan narasi ceritanya.
Saya jarang mengulas lagu dan score sebuah film, tetapi saya memberi perkecualian untuk Watchmen. Saya sangat-sangat suka dengan penempatan lagu di film ini. Opening scenenya yang menjelaskan sejarah Watchmen yang diiringi lagu The Time They Are A-Changin’ benar-benar nyambung dan mengena; dan itu baru satu contoh saja. Score garapan Tyler Bates juga sangat pas menghidupkan adegan-adegan di film ini.
Watchmen jelas akan membagi penonton menjadi dua kubu. Seperti kata seorang temanku: “you will either love it, or hate it“. Mereka yang tidak setuju dengan cara Synder akan mengkritik Watchmen sebagai film superhero “kesedikitan action, kebanyakan ngomong” tapi bagi mereka yang menghargai cara Synder menyutradarai film ini niscaya akan menilai Watchmen sebagai salah satu movie superhero terbaik yang pernah digarap. Saya? I (totally) love this movie!
PS: Penulis skenario dari Watchmen adalah David Hayter. Penggemar film akan mengenali dia sebagai penulis skenario dari X-Men 2: United. Sementara penggemar video game jelas mengenali suaranya sebagai the one and only Solid Snake.
- Login to post comments
- 5583 reads