Oleh Job Palar
Jakarta - Minggu, 20 Juni 2005, dalam sebuah seminar yang merupakan bagian dari The 2nd Symposium on Church Choral Music di Bandung, Christian Tamaela sibuk dengan segala perlengkapan di ruang tempat dia akan memberi ceramah. Christian hendak membuat ruang itu semacam etalase alat-alat musik etnik.
Berbagai jenis alat musik dihadirkannya. Para peserta ceramahnya barangkali akan kesulitan untuk melafalkan nama-nama alat musik dari berbagai daerah itu. Yang paling mudah disebut, ya, batu kali. Beberapa batu kali segenggaman tangan di kelas ini “naik derajat†jadi sebuah alat musik.
“Hentakan kaki atau bagian tubuh yang dipukul-pukulkan saja sudah alat musik. Batu ini kalau kita pukul-pukulkan secara berirama pasti menimbulkan musik, tinggal kita padukan saja,†kata Christian dengan penuh semangat.
Christian Tamaela adalah seorang yang memiliki keahlian dan semangat yang langka saat ini. Baginya, musik etnik adalah jiwa dari musik itu sendiri.
Bagi Christian, semangat darik lagu-lagu dan musik etnik juga bisa membawa jemaat sebuah gereja untuk memuji Tuhan, tidak perlu menggeser atau pun berhadap-hadapan dengan musik gereja asal Barat. Musik gereja yang berakar dari musik Barat memang telah menjadi semacam musik sakral, sehingga posisi musik yang berakar kedaerahan negeri ini sendiri malah sempat dianggap musik profan.
Musik etnik jelas memiliki karakter tersendiri. Ini bisa dilihat dari bentuk tangga nadanya. Pentatonik tipe do-mi-fa-sol-si-do dikenal di daerah Sunda dengan istilah degung, atau tipe sunaren (mi-do-si-la-fa-mi) yang dipakai di Bali. Ada lagi tangga nada heksatonik (enam nada) yang khas Batak Simalungun, Sumba, atau Nias. Masih banyak lagi berbagai jenis tangga nada yang dikenal di tiap daerah.
Tiap-tiap seniman asli daerah itu tentu tidak pernah berpikir tangga nada dan sebagainya. Pengetahuan musik baratlah yang “menemukan†dan “menetapkan†pedoman itu. Christian Tamaela yang juga memiliki dasar pengetahuan barat yang cukup lengkap membuka tabir misteri tangga-tangga nada khas daerah itu dalam berbagai presentasi dan penciptaan lagu.
Setidaknya bagi Christian, musik barat memberi sumbangan terhadap pendokumentasi musik etnik.
Upaya-upaya memperkenalkan musik etnik dalam liturgi gereja saat ini lebih dikenal dengan kontekstualisasi dan inkulturasi.
Yang sering dipermasalahkan oleh jemaat di gereja-gereja biasanya adalah lagu etnik terasa begitu berjarak. “Bagaimana mungkin saya menyanyikan lagu bertangga nada heksatonik dan bernuansa Batak Simalungun, sementara saya sendiri adalah orang Minahasa?â€
Pemujaan pada Tuhan lewat lagu pujian, padahal tidak mengenal batas-batas kesukuan. Asalkan lagu itu berbahasa Indonesia, walaupun dia diadopsi atau bernuansa lagu Batak Simalungun, mengapa tidak kita gunakan dalam memuja Tuhan di ibadah-ibadah kita.
Toh prosesnya sama dengan kita mengindonesiakan lagu-lagu karya Bach, Mendellsshon, Mozart dan banyak lagi, yang sekarang ini menjadi koleksi dalam kumpulan buku lagu Kidung Jemaat, misalnya.
Paduan suara gereja pasti bisa menjadi ujung tombak memperkenalkan musik etnik. Namun, ini pun bisa jadi pekerjaan rumah tersendiri.
Paduan suara gereja kebanyakan malah terjebak pada pengayaan literatur musik barat. Seolah lagu-lagu semacam Locus Iste karya Anton Bruckner atau Hallelujah karya Mendelsshon menjadi semacam lagu yang wajib diketahui atau dinyanyikan.
Christian Tamaela sendiri telah membuat lagu paduan suara yang sampai saat ini bisa dianggap sukses mendampingi kepatenan lagu-lagu semacam Hallelujah karya Mendelsshon. Setidaknya, paduan-paduan suara negeri ini akan lebih merasa lengkap jika mereka pernah menyanyikan lagu Toki Gong karya Christian Tamaela.
Syair awalnya berbunyi demikian,â€Taka dong dong, taka dong dong, taka taka dong, dong…†Sepintas seperti tak bermakna apa-apa. Lagu ini mengajak kita bersuka cita dalam memuliakan Tuhan, namun dengan keceriaan seperti keceriaan penduduk desa di salah satu sudut Ambon sepulang dari melaut.
“Saya membayangkan orang-orang bernyanyi dan menari dengan tifa. Orang-orang di Ambon kalau menyanyi sering sekali diiringi tifa. Bunyi ‘taka’ itu tiruan tifa, dan bunyi ‘dong’ tiruan gong,†kata Christian menjelaskan tentang proses penciptaan lagunya kepada SH.
Lagu ini begitu ritmis, di berbagai bagian akan terselip tepukan tangan yang harus dilakukan secara seragam. Ini pula yang membuat banyak paduan suara merasa tertantang untuk membawakannya dengan baik dan sesempurna mungkin.
Saat ini, apa yang diperjuangkan oleh Christian dengan menciptakan sekaligus memperkenalkan lagu-lagu etnik boleh jadi telah berbuah. Banyak gereja yang telah mengakui karya-karya musik etnik di dalam struktur liturgi mereka. Dan lagu-lagu Christian Tamaela menjadi salah satu lagu yang paling sering ditemui.
Sebut saja lagu-lagunya seperti O Datanglah Segra ya Roh Kudus (O Come Quicly, Holy Spirit) dan Tuhan Kasihani (Kyrie Eleison) yang telah terdaftar dalam buku nyanyian jemaat bertajuk Sound The Bamboo, Christian Conference of Asia Hymnal 1990/2000.
Ini adalah pencapaian yang sangat baik untuk ukuran jemaat gereja yang telah menganggap lagu-lagu Baratlah yang bisa disebut “lagu gerejaâ€. Dan, perjuangan mencari pengakuan untuk lagu-lagu etnik itu sudah pasti belum selesai. Christian Tamaela masih akan terus berkarya menciptakan lagu-lagu bernuansa etnik, setidaknya dari ranah kehidupan yang telah dikenalnya dan mendarah daging, yaitu etnik Maluku.
Copyright © Sinar Harapan 2003
- Login to post comments
- 9307 reads